LEBAK – ADN.COM
Ribuan warga Baduy dari pedalaman Kabupaten Lebak kembali melaksanakan tradisi tahunan Seba Baduy pada 2 – 4 Mei 2025. Tradisi ini menjadi simbol rasa syukur kepada Sang Pencipta atas hasil panen serta bentuk penghormatan kepada pemerintah sebagai pengayom masyarakat.
Puncak perayaan berlangsung di Pendopo Bupati dan Alun-alun Rangkasbitung, Jumat (2/5/2025), dengan kehadiran lebih dari seribu warga Baduy yang berjalan kaki dari Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, sebuah perjalanan spiritual sejauh 50 kilometer.
Kepala Desa Kanekes, Oom, menyebutkan bahwa Seba tahun ini merupakan yang terbesar sejak pandemi. “Total peserta semuanya 1.753 orang, terdiri dari 70 warga Baduy Dalam dan 1.683 dari Baduy Luar,” ujar Oom kepada awak media, Kamis (1/5/2025).
Tradisi Seba dilakukan setelah warga Baduy melaksanakan Kawalu, masa puasa dan menyepi selama tiga bulan yang menandai siklus spiritual tahunan mereka. Setelah masa sunyi itu berakhir, para warga secara kolektif turun gunung, membawa hasil bumi seperti padi dan madu untuk diserahkan kepada pemerintah daerah sebagai simbol kerukunan dan loyalitas.
Titik Kumpul Seba Baduy 2025 di Alun-alun Rangkasbitung
Ritual dimulai dari Desa Kenekes pada Jumat pagi. Warga Baduy Dalam memimpin perjalanan, diikuti Baduy Luar. Mereka tiba di Alun-alun Rangkasbitung pada pukul 15.00 WIB dan melanjutkan prosesi utama malam harinya di Pendopo Bupati Lebak pukul 20.00 WIB.
Dalam tradisi Seba, tak ada kendaraan bermotor atau iring-iringan modern. Yang ada hanyalah kaki-kaki telanjang yang menapak bumi dengan keyakinan penuh. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya semangat komunitas Baduy menjaga warisan leluhur di tengah arus modernisasi.
Selain di Rangkasbitung, rombongan warga Baduy juga akan melanjutkan perjalanan ke Kota Serang pada Sabtu (3/5/2025) untuk menyampaikan Seba kepada perwakilan pemerintah provinsi.
Seba Baduy tak hanya menjadi agenda budaya, tetapi juga momentum pengingat bahwa nilai-nilai kesederhanaan, syukur, dan ketundukan pada harmoni alam masih hidup di jantung Banten. Ribuan pasang kaki yang berjalan bukan hanya membawa hasil bumi, tetapi juga membawa pesan: bahwa kearifan lokal adalah kekayaan yang tak ternilai di zaman ini. (Mursal)